Khasanah

6 Bulan Perjalanan, Tantangan Haji Pada Zaman Dulu

 Umrah News – Menunaikan rukun Islam yang ke-5 merupakan dambaan bagi setiap Muslim di seluruh dunia.

Sebagaimana yang telah Allah tegaskan dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 97,

“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”

Berbeda dengan zaman sekarang, pelaksanaan ibadah haji pada zaman dahulu jauh lebih menantang.

Di Indonesia sendiri, pelaksanaan ibadah haji sudah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu.

Tetapi, tidak diketahui secara pasti kapan umat Muslim di Nusantara mulai menunaikan ibadah haji.

Namun ada seseorang yang tercatat dalam sejarah sebagai orang pertama yang melaksanakan ibadah haji dari Nusantara. Ialah Pangeran Abdul Dohhar, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten.

Pangeran Abdul Dohhar pergi haji pada tahun 1630 M dan di tahun-tahun berikutnya pun semakin banyak orang yang melaksanakan ibadah haji.

Tidak hanya untuk beribadah di Tanah Suci, orang-orang yang pergi haji pada zaman dahulu juga turut menuntut ilmu agama. Hal inilah yang nantinya akan diamalkan dan diajarkan sepulangnya di Tanah Air.

Beberapa Tantangan Haji Pada Zaman Dahulu

Dikutip dari buku Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje Jilid VIII karya Soedarso Soekarno, salah satu tantangan yang dihadapi jamaah haji pada waktu itu adalah ibadah yang memakan waktu lama.

Saat itu, sebelum ada kapal uap, para jamaah haji berangkat menggunakan perahu layar menuju Aceh. Dari sana mereka menumpang kapal dagang menuju India. Tak ada kapal yang langsung membawa mereka ke Makkah.

Setelah dari India, jamaah melanjutkan perjalanan menaiki kapal ke Yaman. Jika beruntung, mereka mendapatkan kapal yang menuju langsung ke Jeddah. Rute perjalanan ini bisa memakan waktu hingga setengah tahun dalam sekali keberangkatan.

Perjalanan haji pada zaman dahulu.

Kendala lainnya yang harus dihadapi jamaah haji, yaitu karamnya kapal yang ditumpangi hingga mengakibatkan penumpang kapal tenggelam atau terdampar di pulau.

Hingga ada pula jamaah haji yang harta bendanya dirampas bajak laut/bandit atau hartanya dijarah oleh awak kapal itu sendiri sehingga niat berhaji pun kandas.

Perjalanan ibadah haji dari Hindia Belanda mulai dimudahkan ketika Terusan Suez dibangun pada tahun 1869 M. Saat itu juga semakin ramai jumlah kapal uap yang berangkat dari Hindia Belanda menuju Jeddah. Bukan hanya mereka yang berhaji, tapi juga yang bermukim di Makkah.

Akibatnya, jumlah jamaah haji yang pulang ke Tanah Air lebih banyak dibanding yang berangkat. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah kolonial waktu itu.

Dikutip dari buku Encyclopaedie van Nederlandsch Indie karya E.J. Brill dan Martius Nijhoff, otoritas di Hindia Belanda kala itu tidak dapat mengawasi aktivitas penduduk Hindia Belanda di luar pelaksanaan ibadah haji.

Saat itu, pemikiran Pan Islamisme di Timur Tengah sedang marak. Pemerintah Hindia Belanda khawatir gagasan dari pemikiran itu masuk ke wilayah jajahan dan memunculkan gerakan perlawanan di masyarakat.

Akhirnya pemerintah Hindia Belanda membuka konsulat (perwakilan negara) di Jeddah pada tahun 1872 M. Di samping itu, pemerintah Hindia Belanda juga mulai menangani langsung proses ibadah haji, mulai dari keberangkatan hingga pemulangan ke Tanah Air.

Perjalanan haji pada zaman dahulu.

Awal mulanya, hal tersebut berjalan lancar, tapi seiring membludaknya jamaah haji, kapal-kapal pemerintah Hindia Belanda tidak mampu lagi mengangkut jamaah. Keputusan selanjutnya adalah melibatkan pihak swasta.

Namun keterlibatan itu justru menimbulkan masalah baru. Dikutip dari buku Biro Perjalanan Haji di Indonesia Masa Kolonial: Agen Herklots dan Firma Alsegoff & Co terbitan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dijelaskan, dibukanya pintu bagi pihak swasta untuk ikut terlibat menangani perjalanan haji ini menimbulkan akibat buruk.

Pihak swasta mengambil kesempatan mengeruk keuntungan yang berlebihan, melebihi niat ibadah para jamaah. Orientasi ekonomi berlebihan itu berakibat sengkarut dalam pemberangkatan haji oleh swasta, calo-calo pun bermunculan.

Mereka adalah orang-orang yang ditugaskan mencari calon jamaah haji sebanyak-banyaknya. Jika target tercapai, para calo tersebut akan mendapat imbalan dari pihak swasta, yaitu berangkat ke Jeddah secara gratis.

Tidak hanya berhenti di situ saja, di atas kapal pun kegiatan calo ini tetap berlangsung. Mereka menjadi calo untuk penginapan jamaah di Tanah Suci. Tentu saja mereka meminta uang tambahan dari para jamaah. Bagi jamaah yang kaya raya, persoalan ini mudah saja. Namun tidak begitu bagi jamaah dengan uang pas-pasan.

Google News

Umrah News

Berita Seputar Haji & Umrah Paling Aktual

Berita Lainnya